JOHANNESBURG, Penerbitmajas.com - Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka memimpin delegasi Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 22—23 November 2025. KTT ini diselenggarakan di bawah Presidensi Afrika Selatan dengan tema "Solidaritas, kesetaraan, dan keberlanjutan." Keberangkatan Wapres Gibran ini menandai pertama kalinya Indonesia diwakili oleh Wakil Presiden dalam pertemuan tingkat pemimpin KTT G20 sejak 2008.
Dalam pidato singkatnya, Wapres Gibran menyoroti dua isu utama: pendanaan berkelanjutan dan inklusi digital.
Pendanaan Iklim dan Komitmen Nasional Indonesia menyambut baik fokus G20 pada pendanaan berkelanjutan, namun menekankan bahwa ambisi G20 harus diperluas untuk mencapai adaptasi, mitigasi, dan transisi yang adil serta merata. Wapres Gibran menuntut adanya pendanaan yang lebih mudah diakses, dapat diprediksi, dan setara bagi negara-negara berkembang. Untuk itu, ia mendorong penggunaan mekanisme seperti pengurangan utang, blended finance, dan mekanisme transisi hijau.
Sebagai bukti komitmen domestik, Gibran mengumumkan alokasi signifikan:
Indonesia mengalokasikan lebih dari $2,5 miliar (sekitar Rp41,7 triliun) setiap tahun, yang merupakan lebih dari separuh anggaran iklim nasional.
Dana ini difokuskan untuk mendukung UMKM hijau, asuransi pertanian, dan infrastruktur yang tahan iklim.
Inklusi Digital dan Regulasi Teknologi Wapres Gibran juga mengangkat isu inklusi keuangan berbasis teknologi. Ia memuji sistem pembayaran digital nasional QRIS sebagai contoh bagaimana solusi digital berbiaya rendah dapat mendorong partisipasi dalam perekonomian dan meminimalkan ketidaksetaraan.
Menyikapi perkembangan pesat, khususnya aset kripto, token digital, termasuk Bitcoin, yang menciptakan peluang sekaligus risiko, Wapres Indonesia mengusulkan langkah strategis bagi G20:
Indonesia mengusulkan agar G20 segera memulai dialog tentang ekonomi kecerdasan (intelligence economy).
Menutup pidatonya, Gibran menekankan prinsip kedaulatan pembangunan: "Tidak ada model tunggal yang cocok untuk semua. Tidak ada yang namanya metode terbaik." Ia menegaskan bahwa kerja sama global harus memberdayakan, bukan mendikte, dan harus mengangkat, bukan menciptakan ketergantungan. (YR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar