Penerbitmajas.com - Di sebuah sudut Bojonegoro, di bawah naungan langit yang cerah, terhampar sebuah alas merah yang menyatukan. Bukan sekadar alas, melainkan permadani kebersamaan yang menjadi saksi bisu pertemuan-pertemuan hangat. Orang-orang berdatangan, langkah-langkah ringan mereka menapak di tanah. Beberapa mengenakan kemeja merah, melambangkan semangat yang menyala, sementara yang lain memilih nuansa gelap, memancarkan ketenangan.
Terkait:
Beberapa dari mereka tampak sibuk mencatat, mungkin merancang masa depan, mungkin merefleksikan masa lalu. Yang lain hanya duduk, menikmati kebersamaan, membiarkan pikiran mengalir bebas. Sesekali, pandangan mereka menyapu sekeliling, menangkap hamparan hijau sawah yang membentang di kejauhan, atau mengamati tiang-tiang kayu yang menopang atap pendopo, kokoh dan berwibawa.
Di satu sisi, sekelompok pria berkaus merah berkumpul di meja, sibuk dengan urusan administrasi. Penanda tanganan daftar hadir, tawa ringan yang terdengar, seolah setiap tanda tangan adalah janji untuk menjaga semangat kebersamaan ini. Mereka adalah para penjaga, para pelaksana, yang memastikan setiap detail berjalan lancar.
Waktu berlalu, matahari semakin meninggi, namun semangat di alas merah tak surut. Justru semakin membara. Mereka tak hanya berbagi makanan, tapi juga berbagi ide, harapan, dan impian. Di Bojonegoro, di bawah naungan pohon tua dan langit biru, sehelai alas merah menjadi lebih dari sekadar tempat duduk. Ia menjadi panggung bagi persatuan, tempat di mana hati-hati bertemu, dan cerita-cerita baru mulai ditulis. Dan setiap helaan napas yang terbagi di sana adalah melodi kebersamaan yang tak akan lekang oleh waktu. (Yonathan Rahardjo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar