Senin, 28 Juli 2025

Di Bawah Bayang-Bayang Besi Tua

Penerbitmajas.com - Matahari bulan Juli di Bojonegoro memancarkan kehangatan yang lembut, menyelimuti tanah dan pepohonan dengan cahaya keemasan. Di sebuah pelataran, di bawah naungan sebuah papan informasi besar yang mengisahkan sejarah panjang, dua sosok pria berdiri berhadapan. Mereka adalah saksi bisu waktu, penjaga ingatan akan masa lalu yang tersembunyi di kedalaman bumi.

Terkait:

Pria yang lebih muda, dengan kemeja biru tua dan kacamata bertengger di hidungnya, tersenyum tulus. Di tangannya, sebuah plakat penghargaan dengan detail ukiran halus. Senyum itu memancar dari kedalaman jiwa yang memahami makna sebuah penemuan, sebuah kepingan sejarah yang berhasil diangkat dari lumpur waktu. Matanya memancarkan rasa hormat dan kekaguman.

Di hadapannya, seorang pria sepuh mengenakan peci hitam dan kemeja merah marun. Wajahnya yang keriput adalah peta dari pengalaman panjang, guratan-guratan yang menceritakan tentang badai dan ketenangan. Di sana, di sudut bibirnya, sebuah senyum tipis mengembang, penuh dengan kebijaksanaan dan kerendahan hati. Tangannya yang telah renta, namun tetap kokoh, menerima plakat itu. Bukan sekadar sebuah benda, melainkan simbol pengakuan, penghargaan atas warisan yang telah ia jaga, atas kisah yang telah ia dengar dari para leluhur, dan kini, ia sampaikan pada generasi penerus.

Di belakang mereka, samar-samar terlihat siluet sebuah struktur besar, gelap, dan berkarat – mungkin sisa-sisa dari penemuan yang diceritakan di papan informasi. Besi tua itu seperti raksasa tidur, menyimpan ribuan cerita yang tak terucapkan, dari pelayaran panjang di sungai purba hingga terpendamnya ia di dasar lumpur, menanti untuk ditemukan kembali.

Papan informasi di atas mereka mengisahkan tentang "Penemuan Perahu Besi Ngraho". Sebuah narasi yang terukir di sana, menceritakan bagaimana pada suatu pagi di bulan Maret 2013, seorang petani menemukan bongkahan besi aneh di tepi Bengawan Solo. Sebuah penemuan yang mengguncang desa, membangunkan rasa penasaran, dan akhirnya, menyingkap tabir masa lalu. Perahu besi itu, yang diperkirakan berasal dari abad ke-12 Masehi, adalah bukti peradaban yang pernah berjaya, jalur perdagangan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.

Pada momen itu, di bawah bayangan besi tua, di antara alunan napas waktu, bukan hanya plakat yang berpindah tangan. Lebih dari itu, adalah sebuah estafet pengetahuan, penyerahan amanah untuk menjaga ingatan, dan sebuah ikatan antara masa lalu dan masa depan. Pria sepuh itu, dengan tatapan matanya yang teduh, seolah berkata, "Kami telah menjaga kisahnya. Kini, giliranmu." Dan pria yang lebih muda, dengan genggaman yang erat pada tangan sang sesepuh, seolah menjawab, "Akan kami teruskan, akan kami jaga."

Matahari semakin tinggi, cahayanya membanjir, menerangi setiap sudut pelataran. Perahu besi tua itu, meski bisu, seolah tersenyum. Ia telah ditemukan, kisahnya telah diceritakan, dan kini, ia menjadi bagian dari sejarah yang hidup, diabadikan dalam ingatan, dan diceritakan dari generasi ke generasi. Di Bojonegoro, di tepi Bengawan Solo, kisah tentang perahu besi tua itu akan terus berlayar, mengarungi zaman, dan menjadi saksi bisu keagungan peradaban masa lampau. (Yonathan Rahardjo)

Tidak ada komentar:

Paling Baru