Jumat, 25 April 2025



Tradisi baik mencerminkan budi pekerti luhur. Para leluhur pendahulu kita sudah punya ini sedari dulu, cermin kepribadian bangsa yang patut diteladani, dipelihara, dan dilestarikan. 

Diteladankan oleh Bupati Setyo Wahono dalam upacara pemberangkatan jenazah warga yang dilayatnya. Tanpa canggung Bupati Wahono ikut memanggul keranda.

Muncul berbagai penafsiran oleh pengamat budaya. Tim Waskat.id pun melakukan dialog dengan para pelaku budaya dan pegiat sosial kemasyarakatan guna memaknai tradisi baik Bupati Setyo Wahono.

Menurut Manan Ketua PIPRB (Perkumpulan Independen Peduli Rakyat Bojonegoro), apa yang diteladankan Bupati Wahono itu bukan hanya tradisi baik, tetapi juga cermin kepribadian yang berbudi pekerti luhur.

Ditambahkan oleh Ketua Wahana Abdi Budaya Kang Zen Samin, kepribadian Bupati Wahono sudah terbentuk sedari dulu. Bahkan saat berjabat tangan atau bersalaman pun Bupati yang acap terlihat membungkukkan badan meski pimpinan daerah, itu sudah terbentuk sedari kecil.

Budaya masyarakat Dolokgede tempat kelahiran Bupati menjadi catatan hidup tentang kepribadian dan budaya masyarakat yang menjunjung nilai-nilai moral dan budaya bertata krama.

"Bukan pencitraan. Tetapi itu alami. Untuk apa pencitraan, kan sudah menjabat bupati," kata Manan.

Bila ada pendapat yang hanya mengaitkannya dengan simbol-simbol kekuasaan yang hanya sementara dan pasti akan ada batasnya, menurut Kang Zen Samin yang Ketua Dewan Kebudayaan Bojonegoro, itu merupakan pendapat yang kurang belajar tentang budaya masyarakat Bojonegoro.

Hal yang dilakukan Bupati Setyo Wahono yang begitu peduli dan mengulurkan tangan membantu proses pemberangkatan jenazah hingga pemakaman warga, juga dilakukan oleh banyak warga yang lain.

"Itu semua cermin kepedulian dan empati serta sikap gotong royong yang hidup subur di masyarakat kita," ucap Kang Zen seraya menambahkan, "Budaya ini sangat bagus dan patut dilestarikan." 

Manan dan Kang Zen Samin pun menambahkan ihwal perkembangan media dan alat yang dipakai oleh masyarakat dari masa ke masa. Zaman dulu bahkan kerandanya berbeda. Bukan seperti keranda sekarang dengan perlengkapan penutup tikar dan kain yang membuat keranda rapi. 

Dulu yang ada malah daun kelapa (blarak) untuk menutup jenazah. Juga dibutuhkan daun pisang.

Sekarang juga dipakai besi stainless dan atau kayu untuk mengangkat keranda, serta papan kayu yang mudah tersedia untuk menutup ruang setelah jenazah ditata di dasar tanah setelah digali untuk lubang makam. 

Dulu yang ada ya kayu, bambu, bahkan batang pohon pisang yang mesti langsung ditebang di kebun atau hutan. 

Semua peralatan yang mesti disediakan itu secara sukarela dan gotong royong dicarikan dan disediakan oleh penduduk secara spontan.

Spontanitas dalam upacara memanggul keranda itu merupakan semua cermin karakter dan perilaku baik sehari-hari para pelakunya. Termasuk oleh Bupati Setyo Wahono.

Adapun berkembangnya tradisi seperti terobosan di bawah keranda yang dipanggil empat orang di pojok-pojok keranda, itu pun punya makna yang sangat tinggi dan mulia.

"Keluarga yang ditinggalkan menghormati dan memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum yang dipanggil terlebih dahulu oleh Tuhan,"  pendapat yang sama oleh Manan dan Kang Zen Samin.

Demikian juga tindakan spontan Bupati Wahono dalam ikut memanggul keranda, itu bentuk penghormatan kepada almarhum.

Budaya baik dan luhur warga Bojonegoro, lekat erat dengan simbol-simbol. Simbol-simbol ini penuh makna positif. Dunia simbol dalam budaya memang membebaskan penafsiran terhadapnya. Penafsiran yang luhur mencerminkan keluhuran juga. (penerbitmajas.com)





Tidak ada komentar: