Rabu, 30 April 2025

SOTO LAMONGAN, Rahasia Orang Lamongan Gairah Sastra

Begitu aku pulang kampung Bojonegoro 2009, bulan 11 menikah dengan orang Lamongan -Babat kan masuk Lamongan- aku merasakan gairah hidup semarak orang Lamongan. Bahkan yang membuka kesadaranku adalah seorang Kediri saat 2012 bedah novelku Taman Api di gerbang Simpang Lima Gumul Kediri. Mampir ke arah Pohsarang di padepokan Joko Koentono ditanya tempat tinggalku saat itu setelah menikah, Babat. Maka ia bilang kata kunci, "Gairah matahari tropis." Entah, aku lupa, pokoknya sekitar itu. Memang begitu, di kota itu penduduknya mandiri. Roda perekonomian Lamongan terbesar di kota kecamatan ini. Selebihnya kutahu, di skala sastra nasional, Lamongan lebih terkenal dari kota lain Jawa Timur. Setidaknya saat aku di Jakarta 1999-2009. Di TIM kukenal Viddy AD Daery, Mashuri. Sepulang Bojonegoro dan Babat, kukenal yang lain. Muncul banyak belakangan. Hebat. Bojonegoro kalah set. Per Juni 2017 aku tak ulang alik Bojonegoro-Babat lagi. Eh bukan sastranya yang menjajah kota kelahiranku. Tetapi soto Lamongan. Sedangkan tahu campur yang kuincar selalu di sini beda rasa dengan di tempat asalnya, Lamongan. Tapi tetap semarak. Gairah. Sampai seorang teman asli Bojonegoro bilang soal kuliner ini. Lebih pilih soto Lamongan daripada soto Bojonegoro. Lebih semarak, katanya. Ya sudah. Aku kenal Eka Budianta juga asal Lamongan. Ya sudah. Pikiran sumbu pendekku langsung membakar komporku. Lamongan lebih bergairah sastra karena soto Lamongan. Soto yang kuincar juga saat di Surabaya 1987-1997. Selain pecel lele Lamongan yang jadi langgananku di Warung Buncit Jakarta hingga jadi cerpenku di Suara Karya, Penjual Pecel Lele. Lupa aku, mungkin Pecel Lele saja.

Tidak ada komentar: