Jumat, 18 April 2025

Guncang dengan Makna-makna Baru

Terima kasih Bunda Yeyen. Ya, lebih baik tentang seni kritik sastra terus ditanyakan ke mana dia akan dibawa. Karena novel sebagai seni terkadang ber-ending terbuka. Bahkan jangankan seni, dalam penelitian ilmiah pun acap kita jumpa pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari sebuah ilmu. 

Meski ilmu itu merumuskan, ia tetap dapat menghasilkan pertanyaan. Apalagi seni. Masih tertancap di benakku seni itu mengguncang-guncang pemahaman. Bukan memberi solusi yang tugas buku konsultasi ilmu apalagi buku how to yang bahkan menuntun. Aku ingat betul istilah mengguncang-guncang pemahaman itu. Kudapat waktu bedah buku pemenang lomba novel Dewan Kesenian Jakarta 2004 itu. Ada Dadaisme oleh Dewi Sartika. Ada Tabularasa oleh Ratih Kumala yang istri Eka Kurniawan. Ada Geni Jora oleh Abidah El Khalieqy. Yang mengungkap kata mengguncang-guncang itu ya pembedah buku itu yang juga jurinya. Prof. Melani Budianta, dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, yang juga istri budayawan penyair Eka Budianta. Kusebut buku-buku itu karena dalam sejarah lomba novel DKJ tentu penting posisinya. Tapi karena sekarang aku sedang bermain sendiri karena sayap-sayap patah yang sedang menimpa kami, aku tak hanya akan menulis buku penting dan penulis kritik sastra yang hebat, tetapi semua penulis dan buku yang hinggap di ingatanku akan kutulis. Termasuk buku-buku literasi yang kuterbitkan. Puisi literasi maupun cerpen literasi. Dan penulisnya anak-anak SD dan SMP sekalipun. Kebetulan aku punya arsip tulisanku ini cukup banyak. Biar bukuku cepat terbit dan aku dapat menulis lagi. Ini gerakan tetap gerakan seni kritik sastra. Apa pun kondisinya tetap semangat. Dapat kita guncang dengan makna-makna baru. Bahkan tidak mustahil atau mungkin saja dari karya yang kita anggap literasi ternyata ada karya yang kelas maestro. Kita tahulah ini. Pengarang maestro pun dapat menulis yang kacangan. Aku punya contoh kasus. Pengarang sastra Jawa top, saat menulis puisi bahasa Indonesia, tak lebih seperti tulisan anak-anak. Sedangkan yang maestro sastra Indonesia menulis karya lain juga bahasa Indonesia pun ada yang demikian. Kita lepaskan dah kalau begitu, soal penulisnya. Tetapi biarlah karyanya yang bicara.

Tidak ada komentar: