Oleh: Yonathan Rahardjo
Sekarang mari kita uraikan pernyataan ini: "Seniman diberdayakan TIM ada 5 jenis: gelandang, penyerang, pencipta gol, bek, kiper."
Sekarang mari kita uraikan pernyataan ini: "Seniman diberdayakan TIM ada 5 jenis: gelandang, penyerang, pencipta gol, bek, kiper."
Seniman gelandangan suka datang di TIM dan tidur bermalam di situ, termasuk di deretan warung Alex, toko buku Bang Yos, di depan galeri Cipta II, di bawah baliho sayap kiri depan TIM, di Masjid Amir Hamzah, atau di IKJ bagian belakang TIM. Bahkan di bawah pohon trembesi atai beringin jadi-jadian, karena sebetulnya nama pohonnya tidak jelas. Seniman ini melupakan anak-istri, orang tua, atau pekerjaan, untuk betul-betul mendapatkan perlindungan dari yang mahabaik Taman Ismail Marzuki. Biasanya memang seniman ini pekerjaan tetapnya ya ber-panjiklantung.
Seniman penyerang punya pekerjaan di kantor (tempat kerja)-nya. Untuk menyalurkan jiwa seninya sore hari mereka datang di TIM, bertemu teman untuk ngobrol atau datang di acara-acara terselenggarakan DKJ atau PDS HB Jassin yang rata-rata bekerja sama dengan pihak luar dan ada kala mandiri, atau pihak luar sama sekali. Disebut penyerang karena mereka langsung menunjukkan kesenimanannya secara militan seolah-olah seniman beneran seperti golongan pertama tadi yang sudah mendarah daging relatif 24 jam hidup di TIM. Tetapi belum masuk golongan seniman ketiga berikut ini.
Seniman Pencipta Gol, bisa sering ke TIM, bisa pula jarang-jarang, tetapi mereka seniman sudah jadi, tenar, hebat, kelas maestro atau kaya atau kelihatan kayalah, yang penting mereka sudah mapan status kesenimanannya. Dan bila datang atau bicara tentang TIM mereka akan merasa sangat berhutang budi dan menunjukkan nilai-nilai kebudayaan yang tinggi dan garda depan dalam penyuaraan ala pidato kebudayaan yang setiap tahun digelar di TIM atau oleh Akademi Jakarta yang suka menganugerahi seniman hebat tahun anu.
Seniman golongan bek adalah yang mengurus DKJ, atau PDSHBJ, atau IKJ, dan disebut bek karena merekalah yang secara resmi menjadi "pegawai" untuk menjalankan fungsi fasilitasi acara-acara kesenian di TIM. Mengapa golongan ini tidak disebut kiper, karena tidak boleh memegang bola kebijakan kesenian dan penyelenggaraannya di TIM sendiri ketika ada serangan membabibuta seperti serbuan Anies Baswedan dan staf Pemda DKI-nya yang merevitaliasi TIM. Tetapi seniman keempat ini bolehlah menjawab pertanyaan, meski tanpa pengambilan keputusan utama. Jadi keputusannya hanya untuk lembaga yang bernaung di bawah lindungan rindangnya pohon TIM.
Seniman terakhir, kiper, hanya ada satu, sejauh ini: yaitu Bang Ali Sadikin, Gubernur DKI yang tanda tangannya sakti dan dapat menangkal semua serbuan si jahat yang ingin meruntuhkan kewibawaan TIM. Seniman 1-4 ada kalanya ingin menjadi kiper hingga mereka memanggil Anies di DPR, bikin pernyataan gagah berani di atas reruntuhan Graha Bakti Budaya dan sebelahnya yang sudah belasan tahun menjadi TIM 21.
Sinepleks TIM 21 itulah, dan Planetarium, yang selama ini menjadi pioner inspirasi bahwa seniman harus punya fasilitas seperti yang difantasikan oleh Pemda DKI dan Jakpro. Dan selama ini, seniman hanya diam terhadap hadirnya dua wahana ilmu pengetahuan dan hiburan ini selama ini. Meski penikmat wahana kelas lumayan ini rata-rata masyarakat luar dan kalau sudah melihat acara di dalamnya tidak nimbrung dengan seniman yang berkreasi; bahkan senimannya juga banyak yang tidak nonton di TIM 21 dan Planetarium. Mungkin dua wahana ini masih dianggap cukup dekat dengan dunia budaya yang pada awal-awal kehebatan TIM punya gelanggang luar biasa bernama Arena panggung/gelanggang tempat seniman betul-betul mengekspresikan dunia keseniannya di ruang terbuka, yang sudah lama tiada, dan terakhir diganti Teater Kecil sebagai penghibur selama ini acara penting juga menyempil di aula belakang TIM 21/GBB.
Termasuk seniman nomor berapakah kau, wahai pejuang seniman Indonesiaku? Kau minta aku jawab dulu ya? Baik, aku pernah menjadi nomor satu kok. Hahaha. Namun sejujurnya aku malu kalau disebut nomor dua.Kini, kita yang di daerah, mari mengheningkan cipta di tempat masing-masing. Karena di Bojonegoro kota tempat kelahiran dan tempat tinggalku kini, rencana pusat kebudayaan yang sudah digulirkan kini di-tipex diganti pusat olah raga juga. Dan seniman kota kecilku ini juga Amin Amin Amin. Ada sih yang berteriak, sayang dia kalah dengan oligarki.
Bagaimana dengan Warung Alex (baca: Kantin TIM) dan Kafe Venesia? Tampaknya tak perlu diperdebatkan, karena setiap orang butuh makan dan minum. Bagaimana dengan halaman parkir? Juga, semua orang butuh memarkir kendaraannya. Meski, di tempat parkir inilah seniman lebih sering berpanggung di area terbuka karena Arena sudah lama mati, dan di Plaza TIM yang tak lebih merupakan trotoar besar dengan gerbang besar diapit dua pintu masuk-keluar. Tentu selain diberdayakan di ruang tertutup Galeri Cipta-Galeri Cipta, Graha Bakti Budaya, dan Teater Kecil tempat aku menerima penghargaan pemenang Lomba Novel DKJ 2006.
Terima kasih, TIM, pemberdayaan (baca: fasilitasi) olehmu masih banyak lagi dan tak terbilang. Hasil (baca: output-nya). mereka menjadi roh seni budaya juga, di mana-mana, membuat mereka mudah menyambung dengan roh seni budaya yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar