Rabu, 19 Februari 2020

Wacana | SENIMAN TAK HARUS SEPERTI ENDANG BAHUREKSA TIM?

Oleh: Yonahan Rahardjo

Apa penyebab "penghancuran" (bahasa yang dipakai: revitalisasi) Taman Ismail Marzuki tidak menimbulkan gerakan seniman yang besar dalam menolaknya termasuk dari sebagian seniman yang suka menggelandang di dalamnya? Jawabannya, persis dengan jawaban pertanyaan ini: Mengapa tidak ada gerakan progresif Indonesia? Yang terkait pilpres kemarin kan diprogresif-progresifkan. Progresif yang sesungguhnya tentu tidak seperti setelah dedengkot 1 dan 2 ber-teletubies langsung "cek klakep dolanan bak bekel bareng". Ya, seperti itulah.

Jadi, apa arti hilir-mudik semua seniman yang dibaptis dalam sebagai seniman Indonesia di TIM selama ini? Seniman itu datang sebagai apa, ternyata?
Ya tetap senimanlah. Masa seniman harus berani seperti Endang. Ya tidaklah, seniman kan tugasnya berkarya, dan dengan berkarya maka lahir karya seni. Karya seni itu membaptis mereka dan keluar dari pemandian kemudian dapat sertifikasi tanpa kertas ijazah untuk tampil dalam undangan pengantin untuk baca puisi, atau melukis bodypainting mempelai, merenda gaun pengantin wanita atau membuat tamansari tempat keluarga pengantin makan konsumsi secara VVIP. Begitu kok sekarang muncul proyek sertifikasi seniman.

Seniman tidak harus seperti Endang, karena Endang betul-betul seratus persen mendarmabaktikan hidupnya untuk Taman Ismail Marzuki. Ya, dialah seniman paling setia dalam sejarah pengenalan saya terhadap TIM. Siapa yang dapat seperti dia, 24 jam tinggal di area pusat suci yang dulu kebun binatang Raden Saleh pelukis Hindia Belanda kesayangan Raja Belanda. Siapa seniman yang dapat seperti Endang, dapat keluar masuk semua area TIM dengan penuh penjiwaan, hanya mengenakan kaos T lusuh dan celana panjang lusuh berikat pinggang sedikit di bawah Ogut, tak bergidik sama sekali menghadapi semua orang dan semua seniman hebat dan semua makhluk halus yang menjadi bayang-bayang pembicaraan seniman bawah baliho.

Siapa seniman yang dapat seperti Endang yang dengan tegas membela kebenaran manusia saat harus masuk ruang di atas TIM XXI dan GBB yang panjang, yaitulah ruang kantor DKJ dan berbincang serius dengan Ratna Sarumpaet Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Bukankah komunikasi dengan pejuang teater dan kritikus politik/politisi ini hanya dapat dilakukan oleh seorang yang berjiwa kuat? Mungkin kau juga masuk kategori kuat di sini, yang berjuang bersama ibu Jamilah dan Sang Presiden yang kemudian disucikan oleh perseteruan 1 dan 2 Pilpres 2019 karena ternyata berpihak membabibuta pada salah satu pihak kontestan adalah jalan cepat menuju kehancuran. Mungkin juga mereka semualah, yang termasuk kategori kuat. Tetapi apa betul kekuatanmu dapat seperti kekuatan Endang?

Kalau dapat, berarti kau harus tanpa takut minta rokok kepada Ratna dalam komunikasi yang baik, seperti Endang. Kalau dapat seperti Endang, kau harus tanpa takut masuk ruang Galeri Cipta II untuk melihat pameran lukisan para pelukis yang gagah dengan lukisan gagah-gagah pembela kebenaran, makna, dan praktik kehidupan nyata termasuk praktik penghancuran bangunan bersejarah sejak zaman Ali Sadikin merestui lahan yang seharusnya didirikan untuk Kompleks Planetarium seutuhnya dicokoli bangunan dan ruang untuk kebudayaan. Dan kau harus dapat bersikap seperti Endang yang memberi pemaknaan lebih dari terhadap karya seni mereka yang mencoba memberi pemaknaan atas semua pengalaman dan pemikiran itu. Pemaknaan Endang di atas semua itu.

Kalau dapat seperti Endang, kau harus dapat menunjukkan di mana letak Galeri Cipta I TIM. Bukan hanya berfoto ria jenaka dalam nostalgia penonton Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III. Kamu ternyata tidak tahu ya, di mana letak Galeri Cipta I? Ya, bukankah tempat bedah buku Novel Lanang yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada 2008 adalah di Galeri Cipta III? Mengapa tidak kautanyakan pada Ketua DKJ Marco Kusumawijaya, di mana letak Galeri Cipta I? Apa bukan di ruang yang diokupasi oleh TIM XXI itu? Kok dulu rasanya TIM 21? Kok diam saja sih? Mestinya tanya Endang sudah cukup, ya.

Kan paham sejarah adalah dambaan seniman yang baik. Dan mestinya kamu harus tanya pada Endang yang seniman sahabat Ratna, sebaiknya juga sahabat baik Marco. Dengan paham sejarah itu kita dapat berjuang mewujudkan protes kesewenangan dalam lukisan kita yang heroik menjadi heroisme faktual dalam melawan rezim penghancur tempat bersejarah.

Atau mungkin kamu seniman paham sejarah yang sesungguhnya, sehingga diam saja menghadapi tempatmu ditahbiskan menjadi seniman hebat di tempat terbesar Graha Bakti Budaya? Dan kamu bersikap diam seperti diammu terhadap kehadiran Planetarium yang sesungguhnya punya hak asali terhadap lahan TIM sendiri dibanding PKJ TIM sendiri?

Mungkin memang, kamu diam, karena pahammu adalah Seni untuk Seni, hasil terbesar gerakan Manifest Keboedajaan, bukan seperti seni untuk kehidupan yang diperjuangkan sampai mati oleh Lekra. Memang sih, utopis bila mengharapkan notalgia Lembaga Keboedajaan Rakyat dapat terwujud pada zaman kita. Oh, makanya Endang dapat kuat menghadapi perubahan zaman itu. Karena, dia tidak peduli apa itu Lekra apa itu Manikeboe, dan apa itu karya yang kalian persembahkan kepada Dewi Kesenian di kuilnya yang kita senggamai setara 24 jam sehari agar dapat orgasme seni yang mulia. Endang lebih peduli hal hidupnya yang merdeka di TIM. Dia setara dengan bahureksa TIM yang sering menghantui pembicaraan kita. Juga aku yang tidur di teras Galeri Cipta II saat menunggu pagi lalu kita bersama berjalan di sepanjang Jalan Cikini Raya yang masih sepi hanya sesekali P-20 melaju kencang Senen-Lebakbulus.

Endang lebih peduli kemanusiaannya sendiri. Karena dia manusia merdeka dengan HAM-nya. Mungkin bebas dari pengadilan bila melakukan suatu kesalahan. Konon katanya, dia sudah meninggal, kok. Jarak waktunya tidak lama dari mangkatnya Alex pemilik salah satu warung kantin TIM yang hebat, yang lebih kita pilih untuk membicarakan gerakan kebudayaan hebat dan kuat selama berjam-jam. Harum namanya. Harum nama mereka di TIM. Mereka pahlawan bagiku, yang saat Endang tiada yang terbayang di anganku adalah pohon belakang, yang rimbun lebat, dekat toko buku Bang Yos.

Kamu masih ingat, kan, gaya berdiri Endang sambil berkacak pinggang saat mengomentari lukisan Jeihan?

Tidak ada komentar: