Ada tiga kata bersaudara yaitu kaca, cermin dan lensa. Ketiganya terbuat dari kaca dan semua dapat dipakai untuk berkaca. Kaca dapat untuk mengaca diri sendiri meski tidak sejelas cermin. Kaca juga dapat untuk meneropong luar diri meski untuk membesarkan atau mengecilkan butuh kaca lensa. Saat kaca menjadi cermin kaca butuh tambahan perlakuan dengan tambahan lapisan sehingga dapat secara sempurna menangkap dan memantulkan objek yang bercermin.
Saat kaca menjadi lensa juga butuh perlakuan dengan mengatur kecekungan dan atau kecembungannya sehingga dapat dipakai untuk fungsi memperkecil dan atau memperbesar objek. Selain fungsi itu, kaca juga dapat dibuat dan digunakan sebagai bermacam barang untuk berbagai macam kegunaan. Sebagai lemari misalnya. Lemari kaca punya keistimewaan untuk menyimpan barang sekaligus untuk mempertontonkannya. Cerpen “Kisah Sebuah Lemari Kaca” berfungsi demikian untuk piala. Pesan moralnya begitu dalam. Selain secara tekstual seperti yang diungkap oleh tokoh Ibu Kepala Sekolah juga pesan simbolik untuk berbagai manifestasi tujuan seni. Ambillah perbandingan dengan novel Rumah Kaca dari Tetralogi Pulau Buru. Pada buku karya Pramoedya Ananta Toer ini yang secara simbolik ditempatkan di dalam rumah kaca adalah tokoh Minke yang hidupnya di bawah pengawasan pemerintah penjajah Hindia Belanda. Diawasi karena pergerakan perlawanannya. Pada cerpen Lemari Kaca yang dimasukkan adalah piala dengan tujuan untuk menyemangati warga sekolah untuk berprestasi. Kaca sebagai cermin, berarti ada pelajaran bagi tokoh dalam cerita, penulis dan pembaca cerita. Bercermin secara harfiah berarti secara fisik. Secara metaforis adalah untuk refleksi, evaluasi, introspeksi, retrospeksi, baik itu pengalaman maupun pemikiran. Kata mutiara “Pengalaman adalah guru yang paling baik” memberi peluang bagi kita untuk memaknai bahwa kaca guru adalah ajang untuk manfaat positif yang begitu luas dan dalam sesuai konteks tekstual yang diuraikan di atas. Secara bentuk, penceritaan cerpen itu dimulai secara alur balik lalu alur maju. Sejalan dengan fungsi perenungan tentang cerita itu, demikian pula guna memosisikan kaca sebagai media guru dalam hidup. Pengalaman dalam cerpen “Mengejar Mimpi” berkaitan dengan pengabdian tokoh sebagai guru peduli tulisan indah yang jarang dimiliki oleh siswa zaman sekarang. Sembari berjualan air isi ulang dalam galon, kepedulian guru ini tanpa batas kepada siapapun terutama siswa yang dijumpai dan bertulisan tangan jelek. Kalau perbandingan cerpen Lemari Kaca secara intertekstual novel berlatar zaman penjajahan Belanda, maka pada cerpen Mengejar Mimpi kita juga membandingkannya terkait dengan kondisi zaman Belanda. Yaitu adanya pendidikan menulis halus penyebab tulisan siswa didikan Belanda bagus-bagus, masih terasa pada generasi zaman awal Kemerdekaan Indonesia. Bukan berarti tulisan orang Belanda juga selalu indah. Penulis pada tahun akhir dasawarsa 1990-an mendapati tulisan orang Belanda yang seperti benang kusut juga. Emi Sudarwati Juara I Inobel Nasional menyaksikan bahwa pendidikan di Belanda menunjukkan keterhimpitan penggunaan bahasa Belanda dalam desakan masif penggunaan bahasa Inggris. Berarti ada benang merahnya dengan kajian buku ini yang lebih bernuansa historis Indonesia yang dulu bernama Hindia Belanda. Tanda-tanda historis juga dijumpai pada cerpen “Cerita Hati Seorang Guru” ketika tokoh cerita harus menembus kuburan padat agar sampai sekolah tempatnya mengajar secara suka rela. Kuburan adalah tanda historis. Secara metaforis kisah mendebarkan guru ini berpesan moral untuk menuju masa depan yang cemerlang lebih bagus kita harus dapat menembus masa silam.
Pada cerpen “Cintaku di SMP 2 Purwantoro” tanda historisnya adalah eksistensi Jawa Tengah sebagai pusat peradaban/bahasa Jawa yang menekan saraf kegamangan lingkungan tokoh cerpen yang akan mengajar bahasa Jawa di Jawa Tengah padahal dia berasal dari Jawa Timur. Pada cerpen “Kisah Sebuah Lemari Kaca” fungsi historis ini dapat disimbolkan dengan kehadiran benda bernama kaca. Pilihan diksi kaca inilah yang diangkat sebagai judul buku. Dengan demikian kaca guru adalah kaca yang berfungsi sebagai guru yang baik yang tidak lain adalah pengalaman atau sejarah/histori. Penabalan sesuatu sebagai sejarah dalam periodisasi sejarah peradaban manusia ditandai harus ada peninggalan tertulis berupa prasasti. Jadi bukan hanya tuturan lisan yang dapat menjatuhkan keberadaannya sebagai suatu mitos. Sementara setiap orang bertanggung jawab atas sejarah hidupnya sendiri-sendiri. Kisah nyata yang dikemas dalam cerpen keempat guru di buku ini adalah sebuah upaya dan peristiwa sejarah pula. Secara teknik, alur penuturan atau penceritaan dalam setiap cerpen berarti metode penghayatan terhadap sejarah masing-masing punya ciri/karakter sendiri-sendiri. Problem klasik dalam dunia kesenian/ kesusasteraan/kepenulisan adalah: Apakah pilihan gaya gaya/aliran tertentu oleh sang kreator merupakan pilihan sadar atau ketidaksengajaan. Pilihan sadar berarti seniman/pengarang/ penulis tahu dan menguasai gaya/aliran yang digunakannya (untuk menulis) dan memilih gaya/aliran tertentu untuk mewujudkan karyanya. Sedangkan ketidaksengajaan berarti tidak menguasai atau tidak memikirkannya meski tahu, dan berkarya dibiarkan secara mengalir. Di sinilah ada persimpangan jalan. Mari kita memilih jalan: sadar atau tidak sadar.
Judul Buku: Kaca Guru (Antologi Cerpen)
Pengarang: 4 Guru Indonesia:
Ni Nengah Arniti
Sugeng Mulyanto
Sri Supriyati
Titik Setiyowati
ISBN: 978-602-5651-14-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar