Politik adalah bagian dari budaya. Maka ketika kita berpolitik, politik kita harus berbudaya. Bukan politik yang mengendalikan budaya. Hakikat budaya adalah segala upaya manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya. Caranya dapat bermacam-macam, termasuk dengan berpolitik.
Maka pendek katanya, berpolitiklah secara berbudaya. Bukan berbudayalah sesuai politik.
Jadi, saudara-saudara, jangan tabu berpolitik, karena dengannya kita mempercayakan nasib hidup kita kepada orang yang bakal mengatur tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara.
Ketika kita mempercayakan tata kelola masyarakat ini kepada orang yang berbudaya, maka akan amanlah tata hidup bersama kita.
Nah, di sini yang dimaksud berbudaya adalah dalam nilai dan taraf paling ideal. Di mana, budaya itu ruang lingkupnya sangat luas. Memperhatikan semua elemen budayanya secara selaras, adil, seimbang, menyeluruh, komprehensif.
Budaya terbaik itu memperhatikan nilai-nilai terbaik dalam hidup beragama, befilsafat, bersosial, berilmu pengetahuan, berteknologi, bermanajemen, bersosial, berkesenian, dan lain sebagainya.
Ruang budaya itu antara filsafat/pemikiran dan tindakan-tindakan sebagai perwujudan nilai-nilai budaya. Meninggalkan tanda-tanda hasil kegiatan berbudaya. Baik itu berupa benda maupun tidak benda.
Pokoknya, jangan berbudaya dikendalikan politik, tetapi berpolitiklah dengan dikendalikan budaya.
Maka pilihanku menjadi orang berbudaya itu adalah karena pemikiran itu. Kalaupun aku berpolitik, politikku harus tunduk pada kaidah budaya ini. Politik, hanyalah sebagian dari laku budaya.
Sesungguhnya, dalam konteks ini, panglima kita adalah budaya. Mungkin dalam konteks lain, panglima kita agama. Tetapi bahasan kita kali ini punya konteks sendiri. Konteks budaya sebagai segala upaya manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sesimpel ini dan sesimpel hanya salah satu pengertian budaya. (Yonathan Rahardjo)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar