Gayam Bojonegoro, Penerbitmajas.com – Di bawah langit Bojonegoro yang senja, Desa Ngraho, Kecamatan Gayam, kembali merajut benang-benang tradisi yang tak lekang oleh waktu. Kamis malam hingga Jumat pagi, 24-25 Juli 2025, Ngraho memanjatkan doa, membentangkan sajian, dalam sebuah perhelatan sakral: selamatan dan sedekah bumi. Lebih dari sekadar ritual, ini adalah simfoni penghormatan kepada mereka yang telah tiada, serta ikrar persatuan yang mengikat erat sanubari warganya.
Bisikan Malam Jumat Pon: Doa di Dua Punden Sakral
Ketika magrib memudar dan bintang-bintang mulai berpendar, aura khidmat menyeruak di Dusun Bringan. Di punden Mbah Gimbal, yang nama aslinya Imam Syahri, sang cikal bakal Desa Ngraho, warga berkumpul. Mereka menunduk, melafalkan doa, seolah menyambung tali batin dengan roh pendiri. Tokoh agama dan masyarakat setempat, dengan wajah-wajah tenang, menjadi saksi bisu keheningan yang sarat makna ini.
Tak lama setelah Isya, gema doa kembali memenuhi udara, kali ini di Punden Soeto Prodjo, atau yang lebih akrab disapa Mbah Pung. Punden ini bukanlah sembarang tempat; ia diyakini sebagai persemayaman kakak kandung Mbah Gimbal. Di samping makamnya yang teduh, teronggok sebuah kerangka perahu besi kuno, relik berusia ribuan tahun—diperkirakan dari abad ke-8 Masehi—yang kini menjelma menjadi destinasi wisata sejarah yang unik, konon satu-satunya di dunia.
Kehadiran Kepala Desa Muksin beserta perangkatnya, Camat Gayam Palupi, dan Drs. Towo Rahadi—mantan kepala desa sekaligus Juru Pelihara Situs Perahu Besi Kuno yang namanya mendunia karena keunikannya—menguatkan bobot acara. Mereka duduk bersama tokoh-tokoh masyarakat Desa Ngraho, bahu-membahu, menunjukkan bahwa tradisi ini adalah denyut nadi yang dijaga bersama.
Kisah tutur mengalir tentang Mbah Pung dan Mbah Gimbal, dua bersaudara pelarian pasukan Pajang yang sakti mandraguna. Mereka menyusuri Bengawan Solo dengan perahu besi legendaris itu, hingga akhirnya berlabuh, "babat alas," dan membuka tabir sejarah Desa Ngraho. Sebuah epik tentang keberanian, perjuangan, dan awal mula sebuah peradaban.
Gemuruh Sedekah Bumi: Dari Punden ke Makam, Memahat Persatuan
Siang harinya, usai salat Jumat, aroma nasi kuning dan lauk pauk berpadu dengan asap dupa, mengiringi tradisi sedekah bumi. Punden Mbah Pung menjadi titik awal, lalu bergeser ke makam Mbah Raden, kemudian ke makam umum yang sunyi, dan puncaknya kembali ke Punden Mbah Gimbal di Dusun Bringan. Kepala Desa Muksin, dengan langkah mantap, hadir di setiap lokasi, menegaskan dukungannya yang tak tergoyahkan terhadap lestarinya budaya adiluhung ini.
"Meskipun sederhana, acara berjalan dengan khidmat," ujar Kades Muksin, sorot matanya memancarkan kehangatan. "Kita utamakan kerukunan dan kekompakan dalam setiap acara desa kami. Tidak perlu mewah, yang penting guyup rukun." Kata-kata sederhana itu menggarisbawahi filosofi hidup warga Ngraho: kebersamaan adalah permata yang tak ternilai.
Semangat kebersamaan itu kian terpancar dengan kehadiran Drs. Towo Rahadi dan Samad, dua mantan Kepala Desa Ngraho dari era yang berbeda. Mereka duduk berdampingan, seolah menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Kehadiran mereka adalah simbol kesinambungan kepemimpinan, sebuah estafet persatuan lintas generasi yang patut diteladani.
Tradisi tahunan ini bukan sekadar seremonial. Ia adalah cermin kuatnya ikatan sosial dan budaya yang menghidupi Desa Ngraho. Ini adalah momen untuk mawas diri, merenungi sejarah desa demi mewujudkan harapan ke depan. Ini adalah saat untuk bersyukur atas limpahan rezeki dari Tuhan, Sang Pencipta semesta alam. Dan yang terpenting, ini adalah saat untuk mempererat tali silaturahmi, menegaskan kembali bahwa kerukunan adalah pondasi utama kemajuan desa. Di Ngraho, jejak leluhur tak hanya dikenang, namun juga dihidupkan, menjadi suluh penerang jalan bagi generasi penerus.(Foto: Kang Zen Samin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar