Senin, 05 Mei 2025

TERAPI SENI KRITIK SASTRA


Penerbitmajas.com - Aku baru saja posting tentang terapi di pasar desa. Respon temanku ada dua. Yang pertama apakah itu terapi pijat. Yang kedua apakah itu sarapan. Keduanya sama-sama terapi. Yang pertama karena sudah menonton videonya. Yang kedua karena hanya membaca kata pasarnya. Begitulah kritik sastra akan memakai dua pendekatan ini. 
Membaca karya yang dikritik. Atau mengkritik berdasar  fenomena umum dunia sastra. Keduanya sama-sama kritik. Keduanya sama-sama terapi. Maka dalam seni kritik sastra kedua-duanya dapat berlaku. Kasus aktual saat ini waktu hari puisi diperingati tanggal 28 April lalu sesuai hari wafat Chairil Anwar. Kritik terhadap karya puisi Chairil sudah banyak diungkap HB Jassin diikuti kalangan sastra terutama puisi generasi demi generasi. Belum tentu pengkritik sudah baca semua karya Chairil yang berjumlah 70 an. Seingatku lho ya. Kalau sudah baca semua, minimal baca sebagian, pasti akan bilang lebih spesifik. Kalau hanya ikut-ikutan, pasti ya akan bilang sekadarnya. Tetapi yang sudah baca juga dapat bilang sekadarnya lho ya. Faktor untuk sebuah penilaian itu bermacam-macam. Untung aku pernah meneliti epidemiologi kasus cacingan pada anjing. Ini skripsiku. Dapat nilai A lho ya. Nama cacingnya ankilostoma. Kasus penyakitnya Ankilostomiasis. Faktor berpengaruh pada kasus adalah umur, bangsa anjing, jenis kelamin, musim. Seingatku rumus pengujiannya pakai Rasio Ganjil. Suwer ini juga seingatku. Seminar penelitianku juga dapat A. Kalau aku pengujinya juga akan bilang A. Karena menurutku memang bagus. Ini karena persiapanku sempurna. Dan aku fokus mengerjakannya. Demikian juga dalam seni kritik sastra. Beda dengan ilmu kritik sastra. Untuk ilmu kritik sastra kita butuh kesempurnaan alat penilaian. Untuk seni kritik sastra butuh imajinasi dan daya santai. Santai supaya dapat berkelit bila diserang orang. Bahwa kritik sastra itu bisa seni bisa ilmu. Dan yang lebih tinggi dari ilmu adalah seni. Ada yang bilang begin, bukan aku, bahwa yang lebih tinggi dari seni adalah filsafat. Lalu yang lebih tinggi dari filsafat adalah agama. Gubrak. Ini pandangan kaum religius tentunya. Sedangkan pandangan kaum budaya tentu beda. Baginya agama itu bagian dari budaya. Semua juga budaya. Jadi yang paling tinggi adalah budaya. Pendekatan kaum sofis akan bilang maka yang paling tinggi adalah seni. Karena yang selalu jadi satu dalam frase bukan agama budaya, tetapi seni budaya. Seni budaya. Seni budaya. Tapi untuk apa main debat kusir sofistik begini kalau bukan untuk menjaga kewarasan kita. Bahwa segala sesuatu dapat dinikmati secara kaya. Tidak cuma dengan satu perspektif. Eksplor sampai daya imajinasimu yang terjauh. Maka tak heran penyair Chairil Anwar digosok untuk dijadikan pahlawan. Sejak dulu dia sudah pahlawan puisi. Sekarang didorong ke kelas kebangsaan, nasional. Ya lah, tulisan Ayo Boeng sebagai slogan perjuangan 1945 kan tulisan Chairil. Sedangkan tangan mengepal memutus rantai kan gambar pelukis Doellah. Jadi pelukis juga harus ada yang jadi pahlawan. Kalau begitu dokter hewan juga. Karena yang mengarang novel Siti Nurbaya adalah dokter hewan sampai pensiun. Bukan dokter hewan gantung stetoskop seperti Taufiq Ismail dan Asrul Sani. Marah Rusli itu tetap praktik dokter hewan, tidak silau dengan kebesaran nama sastrawannya. Ingat Siti Nurbaya itu novel pertama yang sangat terkenal dalam sejarah sastra Indonesia Modern rekaan HB Jassin. Semoga ini juga terapi bagimu yang sedang sakit sastra sebagai seni. Karena pikiranmu lebih menjadikan sastra sebagai ilmu. Apalagi kritik sastra. (Yonathan)

Tidak ada komentar: