Delapan penulis cerpen dalam buku ini mempunyai cita-cita masing-masing untuk masa dewasanya. Secara berurut cita-cita masing-masing adalah menjadi arsitek, polwan, menjadi orang baik, menjadi pengusaha, sutradara dan pengusaha, sutradara, psikolog dan guru.
Sementara kita melihat fenomena sosial profesi seseorang tidak harus sesuai dengan jurusan pendidikan akademiknya, ada satu faktor yang kita ambil hikmahnya dari penulisan cerpen oleh kedelapan siswa SMA ini. Yaitu faktor jiwa berkesenian. Cerpen merupakan salah satu produk seni dan menulis cerpen merupakan kegiatan berkesenian. Kesenian sendiri merupakan wilayah bebas yang semua orang mempunyai peluang untuk mengembangkannya, apa pun profesinya. Dalam sejarah berkesenian di Indonesia pernah terjadi oposisi biner antara seni untuk seni dan seni untuk perjuangan kerakyatan. Kelanjutannya muncul seni punya konteksnya dalam ruang lingkup non struktur seni. Dua arah berbeda antara seni untuk seni dan seni untuk rakyat ini apakah bisa bertemu? Satu sisi seni untuk seni dianggap dapat menjauhkan diri dari kemanusiaan. Satu sisi yang lain seni untuk rakyat dianggap dapat menjadikan seni ditunggangi kepentingan praksis bahkan politis. Dengan kritisme terhadap dua hal ini sesungguhnya merupakan upaya untuk mencari titik temu keduanya. Artinya, menjadi alat penyeimbang bahwa kedua-duanya perlu dan masing-masing jangan kebablasan dalam bandul yang ekstrim. Selebihnya membutuhkan pembahasan lebih dalam. Yang pasti seni yang bersifat universal berarti dimiliki oleh setiap orang dan masing-masing berpotensi mengembangkannya. Mungkin akan ada yang menekuni terus dunia seni cerpen ini bahkan menjadikannya profesi hingga maestero cerpen. Mungkin menjadi bagian dari kehidupannya meski profesinya lain. Atau mungkin suatu saat akan dilupakan dan tak akan menulis cerpen lagi. Yang pasti koor utamanya saat ini adalah pada pendidikan anak. Mereka semua adalah generasi pemimpin bangsa dan pelaku utama kebangsaan nanti pada masa usianya. Waktu akan menguji.
Sementara kita melihat fenomena sosial profesi seseorang tidak harus sesuai dengan jurusan pendidikan akademiknya, ada satu faktor yang kita ambil hikmahnya dari penulisan cerpen oleh kedelapan siswa SMA ini. Yaitu faktor jiwa berkesenian. Cerpen merupakan salah satu produk seni dan menulis cerpen merupakan kegiatan berkesenian. Kesenian sendiri merupakan wilayah bebas yang semua orang mempunyai peluang untuk mengembangkannya, apa pun profesinya. Dalam sejarah berkesenian di Indonesia pernah terjadi oposisi biner antara seni untuk seni dan seni untuk perjuangan kerakyatan. Kelanjutannya muncul seni punya konteksnya dalam ruang lingkup non struktur seni. Dua arah berbeda antara seni untuk seni dan seni untuk rakyat ini apakah bisa bertemu? Satu sisi seni untuk seni dianggap dapat menjauhkan diri dari kemanusiaan. Satu sisi yang lain seni untuk rakyat dianggap dapat menjadikan seni ditunggangi kepentingan praksis bahkan politis. Dengan kritisme terhadap dua hal ini sesungguhnya merupakan upaya untuk mencari titik temu keduanya. Artinya, menjadi alat penyeimbang bahwa kedua-duanya perlu dan masing-masing jangan kebablasan dalam bandul yang ekstrim. Selebihnya membutuhkan pembahasan lebih dalam. Yang pasti seni yang bersifat universal berarti dimiliki oleh setiap orang dan masing-masing berpotensi mengembangkannya. Mungkin akan ada yang menekuni terus dunia seni cerpen ini bahkan menjadikannya profesi hingga maestero cerpen. Mungkin menjadi bagian dari kehidupannya meski profesinya lain. Atau mungkin suatu saat akan dilupakan dan tak akan menulis cerpen lagi. Yang pasti koor utamanya saat ini adalah pada pendidikan anak. Mereka semua adalah generasi pemimpin bangsa dan pelaku utama kebangsaan nanti pada masa usianya. Waktu akan menguji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar