Senin, 21 Juli 2025

Lelangkah Sunyi di Bojonegoro: Mengenang Djajus Pete, Penjaga Kata dan Jiwa Jawa


Purwosari Bojonegoro, Penerbitmajas.com
— Bojonegoro, 20 Juli 2025. Udara Purwosari di Minggu siang itu terasa berdenyut, menggendong jejak kenangan seorang sastrawan yang abadi dalam sastra Jawa. Di Dusun Korgan, Desa Purwosari, tepat di rumah yang juga menjadi Pusat Sanggar Sastra Djajus Pete—kediaman hangat Ipung Restiani, putri sang legenda—denyut itu kian terasa. Para pengurus Sanggar Sastra Djajus Pete berkumpul, tak sekadar berkoordinasi, namun juga melantunkan doa dan merajut kembali benang-benang warisan yang ditinggalkan Djajus Pete.

Pagi itu, sebelum mentari benar-benar meninggi, rangkaian acara sudah bergulir. Pukul sembilan, aktivis dari berbagai penjuru Bojonegoro kota, termasuk Kang Zen Samin dari Sukorejo dan Ipung Restiani, Yonathan Rahardjo, serta Ellisabeth Vitta Dharmayantie dari Kadipaten, mulai berkumpul di Sekretariat Gang Iro 5. Sebuah perjalanan singkat namun penuh makna, membawa mereka menuju jantung perhelatan: Pusat Sanggar Sastra Djajus Pete.

Merajut Kata, Menjaga Asa

Pukul setengah sebelas, koordinasi dimulai. Bukan sekadar rapat biasa, melainkan sebuah musyawarah jiwa tentang bagaimana merawat napas bahasa dan sastra Jawa di tengah gempuran zaman. Nama Djajus Pete, pengarang terkemuka yang lahir di Ngawi pada 1 Agustus 1948 dan memilih Bojonegoro sebagai pelabuhan, seolah menjadi penuntun. Ia, yang dikenal dengan nama pena Djajus Pete—seorang pengarang cerpen Jawa yang karyanya menghiasi Panjebar Semangat dan Jaya Baya—telah menunjukkan jalan: bahwa bahasa adalah cermin jiwa, dan sastra adalah ruhnya.

Ipung Restiani, dengan sorot mata menyimpan kerinduan pada sang ayah, menyuarakan kegelisahan yang sama-sama dirasakan: ”Anak sekarang cenderung ‘gagap’ dalam berkomunikasi menggunakan bahasa daerah dalam hal ini bahasa Jawa.” Sebuah dilema yang nyata, menampar kesadaran akan urgensi pelestarian. Namun, dari kegelisahan itu, muncullah semangat. Kang Zen Samin menimpali, menekankan betapa krusialnya peran pemuda sebagai garda terdepan. Lomba geguritan, cerkak, macapat, tembang dolanan, sesorah, hingga teater dan wayang—semua menjadi wadah, jembatan, untuk kembali menautkan generasi muda dengan akar budaya mereka. Pembahasan juga merambah pada agenda organisasi, lomba cerkak yang akan datang, dan rencana nyadran Mbah Gerit pada Jumat Kliwon—simpul-simpul kegiatan yang akan terus mengikat komunitas sastra ini.

Ziarah Sunyi, Penghormatan Abadi

Siang menjelang, ketika jarum jam menunjuk angka dua belas, rombongan bergerak. Sebuah perjalanan singkat, namun sarat makna, menuju makam Djajus Pete di Desa Kebonagung, Padangan. Di sanalah, di bawah naungan ilalang dan sejuknya angin desa, Djajus Pete bersemayam bersama sang istri, Sukarti. Mereka berziarah, menaburkan bunga, dan melantunkan doa. Bukan sekadar ritual, melainkan sebuah penghormatan mendalam pada seorang maestro yang telah meninggalkan warisan tak ternilai: gaya kepengarangannya yang unik, dengan simbol-simbol yang menghujam, menjadikannya sastrawan Jawa paling berpengaruh di eranya. Kumpulan cerpennya, Kreteg Emas Jurang Gupit, yang meraih Penghargaan Sastra Rancage, menjadi bukti nyata kejeniusannya.

Di antara bisikan angin dan harum bunga, tersimpan sebuah janji tak terucapkan: bahwa karya dan semangat Djajus Pete akan terus hidup, diwariskan, dan menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya untuk terus menjaga suluh bahasa dan sastra Jawa. Kegiatan hari itu bukan sekadar catatan di kalender, melainkan sebuah babak baru dalam upaya melestarikan warisan adiluhung yang tak boleh lekang oleh waktu. (foto: Kang Zen Samin)

Tidak ada komentar:

Paling Baru