Wacana | Sastra Bukan Segalanya

Kebebasan berpikir merupakan senjata utama dalam hidup ini. Banyak hal yang tak mampu kita lakukan namun dapat kita pikirkan. Bahkan kita dapat ke surga atau neraka pada saat bersamaan, di dalam pikiran. Namun banyak orang takut terhadap kebebasan berpikir. Tahukan kau sebabnya? Karena ternyata saat bebas berpikir dapat terjadi apa pun, terutama nasib pemikiran itu sendiri. Terutama lagi, ternyata kebebasan berpikir tak lagi punya tempat dalam wujud tulisan di dinding FB atau twitter.

Semua perkara besar di atas muka bumi ini berawal dari kebebasan berpikir. Soekarno setiap hari berpikir di kamar kosannya di rumah H.O.S Tjokroaminoto Gang Peneleh Surabaya. Kebebasan berpikirnya kemudian mengantarnya menulis dan membacakan Indonesia Menggoegat yang menggemparkan negeri kolonial dan membebaskan bangsanya dari penindasan kolonialisme dalam wujud tulisan yang dibacanya, Proklamasi. Namun tulisannya sendiri juga yang mengantarnya kehilangan kekuasaannya dengan Supersemarnya kepada Soeharto. Kembali kini kita lihat kebebasan berpikir yang diwujudkan dalam bentuk tulisan sungguh bagai pedang bermata dua. Dan kini kita bermain-main dengannya di twitter dan FB. 

Baiklah, kita tetap boleh bebas berpikir namun tidak boleh bebas menuliskan semua pikiran kita di FB maupun twitter. Tulisan memang wujud nyata pemikiran, namun yang lebih nyata lagi tulisan hasil pikiran itu dapat memengaruhi orang bertindak radikal dan memecah belah kerukukan bangsa bersatu yang untuk bersatunya dibangun dengan susah payah. Dari kasus ini kita sadari kebebasan berpikir masih boleh bahkan harus kita lakukan. Namun kita dasari pula bahwa manusia tidaklah hanya terdiri dari pikiran, masih ada hal penting hal yang sepadan dengan pikiran yaitu perasaan dan perbuatan. Daripada pikiran kita merusak perasaan orang lain dan menimbulkan tindakan radikal dan memecah belah begitu banyak orang lebih baik berpikir saja tanpa batas, namun bijaksanalah dalam mengekspresikan pikiran. Pertanyaannya, apakah dengan demikian pikiran masih dapat bebas? Memangnya burung emprit di dalam kurungan seperti sastra merupakan segalanya.

Baiklah pula, kita melarikan diri dari mengekspresikan kebebasan berpikir dalam wujud jurnalistik ke sastra. Tujuannya untuk menghindari dampak negatifnya yang dapat meneror orang dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa sebagai kepentingan praktis. Lalu akibatnya kita mendewakan sastra sebagai jalan keluar bagi segalanya. Lalu kita bukan sekedar mendewakan sastra, tetapi menuhankannya. Lalu kita jatuh dalam ambisi ketuhanan sastra, mau hidup abadi dalam wujud tulisan-tulisan kita. Itu kebebasan berpikir yang abadi bukan? Namun ingat itu pun hanya untuk kepentingan itu, jangan-jangan ambisi kesombongan pribadi bukan memuliakan Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan kita. Kan begitu banyak orang yang mau menulis sastra karena motivasi itu, kan? Apa itu cukup? Tidak ah, kita masih berhadapan dengan kepentingan-kepentingan praktis sehari-hari untuk menghidupi keluarga. Pedih, di negeri minyak kita cuma berpenghasilan menyok, apalagi hidup dengan menuangkan kebebasan berpikir dalam bentuk sastra. Jelas, sastra bukan segalanya. Semua orang dapat menulis tetapi belum tentu semua orang dapat menjadi penulis apalagi sastrawan. Sementara sangat terlalu sering nilai sastra tidak dapat dibandingkan dengan tulisan peringatan yang juga puisi di setiap bungkus kotak kertas yang membiayai Indonesia mencapai puncak kemuliaannya dengan raket dan bola putih bermahkota brodolan bulu angsa: "Merokok membahayakan kesehatan".

Apalagi kita telah melihat dengan mata kepala sendiri permainan sastra sudah dipakai sebagai alat pengendali kekuasaan dan uang. Setiap hari menulis sastra bermutu tinggi dan mengundang kekaguman orang lalu menyembahnya sebagai dewa sastra dan menempatkan nama setinggi puncak menara Olimpus untuk dikenang sepanjang zaman, Ternyata, tak lebih untuk penghias merah bibir bagi media yang dibesarkan dan membesarkan konglomerasi dan oligarki yang teman seiring sebagai mimi lan mintuna. Lipstick-nya mengatakan tidak menerima amplop dalam setiap penulisan tetapi ternyata selalu berapat dengan pengendali bursa efek dan saham perusahaan-perusahaan penguasa hajat hidup orang banyak agar setiap hari disedot keringatnya sampai mengering tulang putihnya hanya untuk para tuan yang duduk manis di sana tak mengenal kata kerja kecuali makan-tidur-nge.... dan shoping. Dalihnya: jangan jadi pekerja yang keras bekerja tetapi jadilah pemikir yang cerdas berkarya. Bahaya pikiranmu, bisa ke mana saja tak terdeteksi orang kamu mau ke mana.

Tidak ada komentar: