Buku | Lewat Sebuah Cermin

Bercermin dapat dengan/dari/lewat apa saja. Bercermin yang sesungguhnya ya dengan cermin yang bersih, bening, bukan buram apalagi kotor. Bercermin yang asal dapat pantulan wajah dapat dengan kaca, permukaan air, dinding mobil, lantai keramik.
Secara meluas bercermin dapat dari penginderaan pancaindera bahkan refleksi dengan ingatan, renungan, pemikiran, lamunan, kenangan. Setelah semua proses pencerminan biasanya kita harus merenungkan lalu menimbang-nimbang bahkan menimang-nimang akan kita apakan masalah yang ada di telapak tangan kita dan akan bertindak apa diri kita. Manusia adalah makhluk sejarah, homo historicus. Tindakannya merupakan cerminan kesejarahannya sendiri. Tindakan masa kininya sering terkungkung dalam jaring sejarah masa lalu. Meski pahit dan menyakitkan karena jiwa sejarah itu manusia sering menjadi sepandai keledai, yang tidak mau jatuh (terperosok ke lubang) ke dua kali, namun akhirnya jatuh (terperosok ke lubang yang sama) juga. Ketakutannya untuk terlepas dari sejarah adalah sindrom (tidak jelas sebabnya) juga. Bisa jadi dia berhalusinasi (penglihatan yang sesungguhnya tidak ada) juga. Atau bisa jadi dia mengidap fobia (ketakutan terhadap suatu hal). Itulah sebabnya apapun yang terjadi di masa lalu orang mesti berani memandang ke depan untuk perubahan. Perubahan itu adalah, masa kini lebih baik dari masa lalu, dan masa mendatang lebih baik dari masa sekarang. Cara untuk terjadi sebuah perubahan dapat dengan demonstrasi yang arti pertama yaitu unjuk rasa secara massal untuk suatu perubahan. Cara lain adalah dengan demonstrasi pengertian kedua yaitu peragaan penggunaan instrumen, namun bukan hanya peragaan sebagai tontonan, tetapi harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam tindakan nyata sebagai tindakan praktis banyak hal yang baik. Ya, dalam hal ini demonstrasi tindakan baik, dan jangan yang didemonstrasikannya tak lebih dari pseudo tindakan baik (tindakan baik yang seolah-olah atau tindakan baik yang semu).

Tidak ada komentar: